Posted in AMEMOAR, Amenulis, belajar, cerita, edukasi, eNPe, guru, pengembangan diri

Dunia Guru

Dunia guru memang menarik untuk dikaji. Ruang geraknya tidak terbatas dalam kelas. Atau tidak hanya berfokus pada persiapan mengajar, buku pelajaran, absensi siswa, daftar nilai dan sebagainya. Dunia guru tidak sebatas itu, tetapi pada interaksinyaterhadap peserta didik, pembelajaran dan dirinya sendiri.
Apakah pada zaman ini menjadi guru masih dihayati sebagai panggilan mulia atau hanya mengejar menjadi professional saja? Kesadaran inilah yang patut direfleksikan dan direnungkan.
Dunia guru dapat diartikan secara luas, tetapi saya membahas pada tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah tanggung jawab guru terhadap murid, pembelajaran dan dirinya sendiri.
Sikap guru terhadap murid menjadi citra tersendiri bagi murid dan masyarakat. Muncul kecenderungan ada yang positif dan negatif dalam cara mengajar. Apalagi dalam berinteraksi dengan murid, seorang guru tidak pernah bebas dari nilai, konsep diri dan keyakinan yang dianut. Namun demikian semua itu demi untuk memajukan peserta didik.
Sikap guru dalam proses pembelajaran seringkali tereduksi pada keyakinan bahwa pengetahuan itu merupakan kebenaran. Guru hanya menuntut peserta didiknya menghafal jawaban tunggal dan faktual dari setiap pertanyaan di dalam kelas. Guru dengan tingkat konseptual yang rendah, cenderung otoriter daripada yang tingkat konseptualnya tinggi. Sebuah riset menunjukkan bahwa 80%, waktu tatap muka di depan kelas, guru hanya berbicara satu arah. Kalaupun murid diberik kesempatan berbicara, itu sebatas menjawab pertanyaan dengan satu jawaban faktual saja.
Seorang guru bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam proses interkasi dengan peserta didik dan pembelajaran di dalam kelas, guru dapat melakukan intropeksi diri dan refleksi atas apa yang telah terjadi. Intropeksi dan refleksi itu akan menyadarkan guru supaya semakin mencintai tugasnya menjadi guru. Artinya dapat membantu guru meningkatkan kualitas diri (kepribadian) selain kualitas teknis.
Ketiga tanggung jawab tersebut menghantarkannya menjadi seorang guru yang handal. Kehandalan menuntut seorang guru tidak pernah berhenti belajar. Hal itu karena guru tahu akan dunianya, tanggung jawab atas pilihannya dan mencintai tugasnya. Kesadaran itu membuat seorang guru menjadi sangat efektif dan kreatif.
Kadang sekian tahun berjalan seorang guru tak pernah menyadari apa salah san dosanya. Kalau mau jujur, kesalahan dan dosa yang paling besar yaitu tampil membosankan di depan kelas. Karena hal yang rutin, maka anggapan itu angin lalu. Ia berbicara dengan nada yang pelan, tanpa ada semangat, wajah kurang ceria dan cepat marah. Atau juga masuk kelas dengan muka masam.
Memang ada faktor internal dan eksternal. Namun, sebagian guru tidak tahu lagi dimaan dunia dia berpijak dan tanggung jawabnya. Dunia dan tanggung jawab guru prioritasnya pada memanusiakan manusia. Itu berarti guru memberi kesaksian dalam kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Perlu daya kritis dan etis untuk menempatkan diri dimana dia berpijak. Itu terjadi bila guru belajarmelek terhadap teknologi dan informasi mutakhir sehingga lebih percaya diri dan tidak diperdayai.
Guru pun rajin membaca dan menulis jika tidak wawasan menjadi kerdil sehingga dunia kelas menjadi kering. Tawaran seperti seminar, pelatihan dan lokakarya san sebagainya tidak semata demi sertifikasi. Dan pad akhirnya guru perlu merefleksi dunia dan tanggung jawabnya sebab kesalahan dan dosa yang ditanamkan pada peserta didik akan berakibat turun temurun. Yang tahu itu semua hanyalah hati nurani guru itu sendiri.
Wallahu’alam.

11 thoughts on “Dunia Guru

  1. rizko lahir dari keluarga guru, mulai dari alm babe, enyak, abang, cman rizko doank yang hengkang jauh dari dunia guru hehehe

    hidup guru 😀

    weleh…weleh gak nyangka ternyata bang iko dari keluarga guru

  2. Hi, salam kenal
    saya guru muda baru 3 tahun ni, selama ni saya masih enjoy dengan pengajaran, o ya disekolah saya murid cowx smua. Kenapa saya bertahan jadi guru, karena saya merasa jadi guru merupakan panggilan hati, soal materi masih bisa dicari dengan banyak cara yang halal mestinya.
    Kalau kita liat emang dunia guru akan menjadi mengasikkan bila kita mau meliahat dari sudut panggilan ok.

    yup, saya juga karena panggilan utk jadi guru. Malah emang cita2 sejak kecil 😛

  3. Sebenarnya berat lho jadi guru itu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tingkah lakunya selalu dibatasi. Soalnya guru harus digugu dan ditiru.

    Iya, pak. Benar banget! kita harus jadi teladan buat murid2 n lingkungan sekitar 😀

  4. Guru adalah tumpuan bangsa, sayangnya banyak yang menjadi guru bukan karena cita2 utama atau panggilan hati, tapi terkadang karena pelampiasan karena tidak masuk ke jurusan lain. Masih banyak yang beranggapan menjadi guru hidupnya akan pas-pasan. Saya salut bagi guru yang memang dari dulu bercita-cita menjadi pendidik

    Heran deh, knp byk orang yg masih menganggap sebelah mata utk profesi guru. Beda jauh kalo profesi dokter ato pengacara dll mereka memandang dgn penuh bangga 😦

  5. Saya nggak tahu citra guru yang baik itu seperti apa, apakah guru yang berhasil meluluskan muridnya semua (bukan dengan cara katrolan lho! :mrgreen: ), murid yang banyak nggak lulusnya karena gurunya sangking pintarnya sehingga si murid tidak bisa menangkapnya, guru yang galak, guru yang keibuan atau kebapakan, ah nggak tahu deh…….

    Omong2 kata orang saya punya bakat jadi guru karena secara nggak sadar saya sering “mengkuliahi” orang dan anehnya orang yang saya kuliahi itu banyak yang senang meskipun ada beberapa juga yang dongkol, bener nggak tuh ya kesimpulannya? Huehehehe…. 😀

    Bener banget, pak! 😀 ita salah satu murid yang paling seneng kalo dapat “materi kuliah” dari bapak :mrgreen:

  6. Artikel ini menunjukkan komitmen Ita yg sungguh2 pada pengabdiannya di “dunia guru”, yaitu kesungguhan untuk meningkatkan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dedikasi sbg guru. Salut utk Ita.
    Bapak-Ibu Kang Nur juga seorang guru, dan tinggal di desa pinggir kota.
    Maka, saya ingat dan lebih menyoroti posisi sosial seorang guru di masyarakat, antara jaman dulu dengan jaman sekarang. …Saya kira peningkatan kesejahteraan utk guru, penghargaan utk guru pada era pasca-reformasi ini (dari pemerintah sudah semakin) membaik. Gampangnya, standar gajinya sudah naik. Mungkin bagi saya yg bukan PNS, kurang dapat menjelaskannya; namun tunjangan fungsional ataupun struktural itu sudah membaik.
    Maka, nasib guru sebagaimana yg digambarkan Iwan Fals dalam lagunya “GOEROE OEMAR BAKRI” itu sudah tidak sedemikian memprihatinkan sebagaimana yg digambarkan dlm lagu itu utk saat ini. Kalo dulu Guru disebut sbg “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, kiranya kini jasanya telah mulai mendapatkan perhatian yg secukupnya dari Pemerintah. Kini, Guru adalah “Pahlawan yg Sudah Bertanda Jasa”.
    Orangtua saya merasakan prihatinnya bgmn menjadi guru di desa pada jaman dulu. Pd th 60-an, bila ada seorang naik sepeda namun berpakaian lusuh, kurus, wajahnya nampak sabar namun agak kuyu; maka orang segera menebak bahwa dia adalah seorang guru. Sekarang seorang guru sudah mampu meng-kredit sepeda motor. Pada jaman th. 60-an itu juga, banyak guru mengundurkan diri dari prifesinya, karena tidak tahan menderita. Mereka melepas status PNS-nya dan memilih mencari profesi lain. Begitulah cerita Bapak-Ibu saya, dan itu adalah sebuah kisah nyata. Karena kesejahteraan mereka tidak terjamin, mereka tidak dapat fokus mengabdikan diri utk mendidik anak-muridnya. Pikiran mereka bercabang bgmn utk dapat terus melanjutkan hidup. Mereka tidak dapat full-konsentrasi mengajar dikarenakan kondisi sosial-ekonomi yg menekan. Ibu saya cerita, kalo saat itu banyak kelas mengajar dipulangkan lebih pagi, tidak full sampai selesai. Alasannya, guru2 itu mau mengadakan rapat. Saat guru itu pulang, di jalan mereka disapa oleh penduduk, yg sebagiannya adalah orangtua dari anak2 murid mereka itu. Penduduk itu menyapa, “Rapat gurune?” (artinya, pulang paginya mereka itu lalu menjadi kebiasaan dengan alasan rapat, dan itu diketahui oleh penduduk). Padahal, guru2 itu pulang pagi karena ingin mencari tambahan penghasilan dari kegiatan lain selain mengajar; entah bertani atau berdagang. Begitulah ceritanya. Ini adalah cerita nyata dari Ibu saya yg mengajar di Yogyakarta sejak th. 1951 di pinggiran Yogyakarta sbg guru SD. Akhirnya, ucapan pertanyaan “Rapat gurune?” itu menjadi pertanyaan sindiran bagi guru2 yng pulang pagi karena mau cari obyekan lain pada masa2 tahun 1960-an itu.

    Jadi terharu..hiks. *pdhl saya blm resmi benar jadi guru*
    Memang menyedihkan kalo berbicara profesi guru di mata masyarakat kita. Ita lagi konsep tulisan profesi guru dibandigkan profesi lainnya *tunggu aja,ntar mampir lagi yach :D* Sepertinya rakyat kita masih byk yg blm tau bgmn cara “berterima kasih” kepada gurunya. Terima kasih atas dukungan Bapk-Ibu Kang Nur 😉

  7. Profesi guru bagi yg menjiwai biasanya dalam menjlankan tugas nampak keprofesionalnya, sedangkan bagi yang hanya sebatas untuk jalan pintas mencari pekerjaan dan bukan karena didasari keterpanggilan jiwa maka di dalam melaksanakan tugasnya agak setengah-setengah dan tampak tidak prof.

  8. Sapa bilang jadi Dokter lebih mulia daripada GUru…
    Kata Pak Ustad : “Jalan menuju SURGA itu yang paling utama “Al-MUALLIM” or “Al-MUTA’ALLIM”……………………………………………..
    So,,,Jadilah guru yang IKHLAS biyar duluan masuk SURGANYA…..Oke

Leave a reply to Yari NK Cancel reply